Burung Kembali ke Sarang
BURUNG KEMBALI KE SARANG
ulasan cerpen karya : M . FUDOLI
ZAINI
Dari Allah kembali ke Allah. La ilaha illallah.
Di sepanjang jalan yang terbayang wajah
anaknya. Di trotoar yang terbayang wajah anaknya. Di kaca etalase yang nampak
wajah anaknya. Pada deretan judul buku-buku yang terpampang nama anaknya. Pada cercit burung yang
terdengar suara anaknya. Sejak kemarin sore ia telah pergi. Burung kembali ke
sarang-Nya. Dari sunyi kembali sunyi. Dari sepi pulang sepi.
“Aku kangen sama Dila,” isak isterinya.
“Ia dalam pelukan Tuhan, sayangku.”
“Aku ingin melihat wajahnya.”
“Kita semua ingin melihat wajahNya.”
La ilaha illallah. Dari tanah kembali
tanah.
Kaki-kaki menginjak tanah. Debu-debu
beterbangan. Angin merintih. Lirih. Langit pucat. Dan matahari sembab. Jasadnya
mengemban jasadnya. Tubuhnya menggendong tubuhnya. Raganya menguburkan raganya.
Cintanya memendam cintanya. Mulut-mulut pada bersuara. Mata-mata pada
berkaca-kaca. La ilaha illallah. Muhammadur rasulullah.
Tanah telah dibuka. Lubang lahad telah
menganga. Jasadnya memasukkan jasadnya. Tubuhnya meninggalkan tubuhnya.
Cintanya menimbun cintanya. Kedua belah tangannya terentang. Kedua belah
matanya mengawang. Dalam mimpi ia ingin memeluk tubuhnya. Dalam sujud ingin ia
mengecup wujudNya.
“Jangan bersedih engkau lelaki.”
Seperti ia mendengar suara bergema.
Seperti dari langit atau langit-langit kalbunya. Ia menghapus pelupuk matanya
yang basah. Sementara angina terus mendesah.
“Tak ada yang harus kau sedihkan. Tak
ada yang harus kau senangkan.”
“Aku tahu, tapi aku sering alpa.”
“Semua akan hanya lewat.”
“Ya, semua akan hanya berkelebat.”
“Dan selanjutnya adalah perjalanan
panjang. Sekarang engkau seperti hanya berteduh di bawah pohon rindang.”
“Aku sering bimbang.”
“Tak ada yang harus kau bimbangkan. Engkau
siap?”
“Aku tidak tau, siap atau senyap.”
“Engkau luka?”
“Aku suka lupa”
“Engkau lunta?”
“Aku ingin lunta dalam cinta.”
“Engkau dahaga?”
“Aku ingin menghirup anggur cintaNya.”
“Engkau mabuk?”
“Aku ingin mabuk sehidup suntuk?”
Lubang lahad yang menganga telah
ditimbun. Jasadnya telah tertimbun. Sedihnya dan senangnya telah tertimbun.
Langit dekat ubun-ubun. Mengendap-endap. Udara pengap. Matahari sembab.
“Kita kembali sayangku?”
“Aku masih ingin bersamanya.”
“Kita semua selalu ingin bersamaNya.”
“Di rumah, kita hanya akan tinggal
berdua.”
“Ia akan selalu bersama kita.”
“Kita kembali ke rumah?”
“Ke rumah kita, ke rumahNya.”
Kaki-kaki menginjak tanah lagi. Mereka
kembali. Debu-debu beterbangan. Angin menggeliat. Dan pohon-pohon berkeringat.
Subhanallah! Semuanya hanya lewat. Semuanya hanya sekejap.
“Engkau akan ke mana lelaki?”
“Aku akan kembali.”
“Bersama isterimu?”
“Bersama ibu anakku.”
“Ke mana?”
“KepadaNya.”
Angin mulai bersiulan. Mereka berjalan.
Langit mulai kebiru-biruan. Mereka bergandengan. Matahari mulai cerah. Mereka
terus berjalan.
Di jalanan orang pada ramai
bercakap-cakap. Di restoran orang pada ramai bersantap. Lahap. Di trotoir orang
pada berdua-duaan. Muda-mudi pada bergandengan. Tertawa dan cubit-cubitan.
“Engkau lapar, sayangku?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak merasa lapar.”
“Aku rindu.”
“Aku juga rindu padaNya.”
Sekelompok burung-burung kecil terbang
di angkasa. Langit terpotong oleh gedung-gedung bisu. Langit biru.sopir taksi
memukul-mukul klaksonnya. Seorang perempuan tua menyeberang jalan tergesa-gesa.
Di depan sebuah gedung orang -orang pada berkerumun. Mereka bercakap tidak
begitu keras dan mendengung–dengung. Ada
sebuah antrian panjang. Lelaki itu mendekat. Tidak terlalu rapat.
“Ada apa di sini?”
Orang-orang pada melihat, percakapan
terhenti.
“Anda orang asing?”
“Saya orang lewat.”
“Anda tidak baca koran?”
“Tiap hari tidak kelewatan.”
“Anda tidak perhatikan iklan?”
“Itu membosankan.”
“Lantas apa yang anda baca?”
“Perang, dictator dan tukang sapu yang
ditempeleng kopral.”
Orang-orang pada tertawa dan
menyeringai.
“Di sini kami antri makanan yang paling
lezat.”
“Apa itu?”
“Daging panggang.”
“Daging apa?”
“Daging manusia yang mati kelaparan.”
Tak terasa ia undur beberapa langkah.
Orang-orang pada melihatnya, menyeringai dan terkakah. Pikir mereka: ini orang
ketinggalan jaman. Tak tahu apa yang terjadi di dunia sekarang.
“Sebaiknya kita pulang saja, sayangku.”
“Aku masih ingin jalan-jalan.”
“Hari sudah siang.”
“Aku selalu ingat padanya.”
“Kita tak akan pernah melupakanNya.”
Langit kelabu sekarang. Matahari garang,
dan angin kencang. Etalase-etalase nampak semarak. Beberapa awan putih
berarak-arak. Kota
berdandan dan girang. Semuanya nampak merangsang.
“Kota
ini selalu bersukaria.”
“Sayangku, kota ini adalah rimba.”
“Rimba raya?”
“Dengan segala binatang buasnya.”
“Engkau takut?”
“Buat apa takut?”
“Kota
ini perempuan jalang. Yang menjerat setiap lelaki datang.”
“Engkau benci dan berang?”
“Aku kasihan.”
“Sebaiknya kita pulang.”
“Tunggu dulu, kita jalan-jalan.”
Di
depan sebuah bioskop orang-orang pada berjubal. Di beberapa antrian orang-orang
berderet panjang ke belakang. Di atas tembok terpampang gambar besar. Dengan
judul: siapa membunuh siapa. Lelaki itu teringat cerita sebuah film yang pernah
ditontonnya. Film perang campur spionase. Film itu seru dan laku. Beberapa
kompi tentara mengepung dan menyerbu sebuah universitas. Ya, sebuah universitas
dan bukan sebuah benteng musuh. Lucu kan?
Mereka menyerbu dengan truk-truk dan panser-panser garang. Serdadu-serdadu itu
mendobrak pintu-pintu, melabrak jendela-jendela. Menendang, menggasak dan
memukuli mahasiswa, dengan popor senapan yang dibeli dari uang rakyat.
Menginjak dan menendangi dosen-dosen. Menelanjangi mahasiswi. Meludasi makanan di
kantin. Agaknya serdadu-serdadu itu kelaparan. Membawa kabur mesin-mesin tik
dan alat-alat kantor. Agaknya serdadu-serdadu itu pedagang kelontong dan butuh
uang. Mengobrak-abrik buku di perpustakaan. Agaknya serdadu-serdadu itu tidak
bias baca. Seru dan juga lucu kan?
Tapi di dalam film, kejadian itu tidak dimuat di koran-koran. Orang-orang juga
takut bicara dan bungkam. Sedang koran–koran hanya penuh dengan teka-teki
silang. Lucu dan seru kan?
Langit sekarang jadi ungu. Gedung-gedung
tetap bisu. Mereka cukup capek berjalan. Memasuki sebuah taman, dan duduk di
bangku.
“Anak kita dulu sering main-main di
sini.”
Perempuan itu seperti bicara pada diri
sendiri.
“Ya, main-main di hangat matahari.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di pelukan Tuhan.”
“Bisa kita ketemu lagi?”
“Kita akan menemuiNya.”
Burung-burung meloncat dari dahan ke dahan.
Burung-burung bercericit di bawah awan.
“Kita jalan lagi, saying?”
“Kita duduk-duduk dulu sebentar.”
“Kita adalah pejalan jauh yang istirahat
sejenak di bawah pohon rindang.”
Perempuan itu tersenyum. Atau ia sendiri
yang lagi melamun. Perempuan itu matanya kuyu. Seperti lampu minyak dekat
tungku.
“Ia akan menunggu kita?”
“Ya.”
“Di mana?”
“Di pintu surga.”
“Ya, asal kita rela.”
Tiba-tiba
perempuan itu bangkit. Matanya memandang keluar taman.
Sementara kota tambah genit berdandan.
“Aku ingin pulang.”
“Sekarang.”
Matanya kini memandang jauh ke langit.
“Sayangku, engkau sakit?”
“Aku rindu.”
“Engkau sendu.”
“Aku seorang ibu.”
“Hm, baiklah kita pulang.”
“Kota
ini rasanya tambah jalang.”
“Tapi ia tak akan bisa memikat kita.”
Pelan-pelan mereka berjalan pulang.
Langit masih ungu. Angin silang menyilang menderu.
“Apa yang akan kita kerjakan?”
“Kerja di kantor atau menanam benih di
ladang. Atau menulis panjang-panjang.”
“Di rumah kita akan kesepian.”
“Kita baca buku, sembahyang dan baca
Al-Qur’an.”
“Apa lagi?”
“Di tengah kota kita harus kerja. Apa saja, asal
berguna.”
Dan mereka telah sampai di rumah.
Membuka pintu dan masuk beberapa langkah. Semuanya seperti telah berubah.
“Jadi engkau telah pergi anakku? Burung
yang kembali ke sarangNya!”
Meja-meja itu tiba-tiba saja seperti
berdebu. Tembok kelabu. Kursi-kursi tegak kaku. Dan di lantai itu, terserak, ia
melihat mainan-mainanNya. Pada judul buku-buku itu ia melihat namaNya. Di
cermin itu ia melihat wajahNya. Di mata isterinya ia melihat wajahNya. Di
tempat tidur ia melihat wajahNya. Di atas kursi ia melihat wajahNya. Di atas
kursi ia melihat wajahNya. Di bayangkannya sendiri ia melihat wajahNya!
Manakah engkau Kasihku?!
Comments
Post a Comment